Tempat dan waktu kejadian: Shanghai 1950
Gui Guzi (鬼谷子) adalah seoarang peramal yang amat terkenal di Shanghai. Saking banyaknya pelanggan2nya, terpaksa ia buka praktek pada pagi, siang dan malam hari tetapi hanya pada jam2 tertentu. Untuk yang malam hari, waktu cut-off adalah jam 9 malam. Jadi begitu sampai jam 9 malam, yang belum sempat bertemu dengannya terpaksa pulang dan datang lagi keesokan harinya.
Malam itu, seperti biasanya, begitu sampai jam 9 malam ia langsung melepaskan kaca matanya dan berteriak kepada pembantunya untuk menutup pintu. Tapi kali ini pembantunya bergegas masuk dan memberitahukan bahwa ada seorang tamu ngotot tidak mau pergi. Belum sempat menanyakan lebih lanjut, tiba2 pintu terbuka dan seorang pemuda berusia sekitar 30-an masuk, membungkukkan badannya dan berkata: “Tuan Gui, saya datang dari tempat jauh dan ada urusan amat mendesak memerlukan bantuan anda. Harap dapat kiranya diberikan pengecualian sekali ini saja.”
Karena tamunya amat sopan, Gui Guzi pun mempersilahkan ia duduk dan menyuruh pembantunya keluar untuk menutup pintu. Ternyata tamunya itu bermuka tampan. Hanya mukanya agak pucat dan sinar matanya sayu. “Biasanya mata yang tidak bersinar nasibnya kurang baik”, demikian Gui Guzi bertutur dalam hati. Selanjutnya Gui Guzi mulai bertanya kepada tamunya itu:
“Nama anda?”
“Marga Su (蘇) nama Jichen (寄塵).”
“Apa yang ingin diramal?”
“Nasib saya secara keseluruhan.”
“Baik. Kalau begitu tolong beritahukan tanggal dan jam kelahiran anda.”
Su Jichen pun memberitahukan kepada Gui Guzi tanggal dan jam kelahirannya.
“Oh, rupanya shio sapi”. Sambil berbicara Gui Guzi mulai mendekati dan menatap wajah Su Jichen dengan seksama.
“Tolong julurkan tangan kirimu.”
Setelah Su Jichen menjulurkan tangan kirinya, Gui Guzi pun mulai memegang telapak tangan kiri Su Jichen memperhatikan guratan2 telapak tangannya. Setelah melihat agak lama, Gui Guzi pun berkata: “Apa boleh saya berbicara blak2an?”
Sambil mengangguk Su Jichen menjawab: “Ya, harap diurai dengan mendetail. Yang jelek2 pun tak perlu di-tutup2i.”
Dan mulailah Gui Guzi menuturkan riwayat dan nasib Su Jichen.
XXXXXX
Su Jichen lahir di Ningbo. Berasal dari keluarga kaya raya dan merupakan yang buncit dari empat bersaudara. Ketika ia berumur 15 tahun, kakak sulungnya mendapat jabatan penting di Shanghai sehingga sekeluargapun berpindah kesana.
Ketika ia berumur 20 tahun, pada suatu hari ia bersama teman2 sekolahnya melewati Xiafei Street (霞飛路) dan dari arah depan berpapasan dengan segerombolan murid2 perempuan. Seketika itu juga Su Jichen terhentak melihat diantaranya ada seorang cewek yang amat cantik. Mukanya berbentuk kwaci, matanya besar dan bersinar, mulutnya kecil, sama sekali tidak berdandan tetapi amat cantik. Secara kebetulan, cewek itu juga melihat kearah dia, tapi langsung menunduk malu dan berlalu bersama teman2nya.
Malam itu Su Jichen susah tidur karena terus memikirkan muka cewek yang dilihatnya pada siang hari. Keesokan harinya diapun menjadi uring2an dan tidak bersemangat. Sejak itu dia berubah dari seorang anak yang periang menjadi seorang anak yang pendiam. Beberapa kali dia bolak-balik di Xiafei Street sampai larut malam dengan harapan bisa ketemu cewek itu, tapi hasilnya selalu nihil. Dalam hati kecil sebenarnya dia juga tahu, seandainya ketemupun dia tidak akan punya keberanian menyapa cewek itu. Tapi ya begitulah. Asal bisa bertemu saja rasanya sudah amat berbahagia.
XXXXXX
Mulut Su Jichen melongo mendengar Gui Guzi menuturkan masa lalunya dengan demikian mendetail.
“Tuan Gui, anda bener2 hebat!”
“Tidak ada yang salah kan dari penuturanku?”
“Sama sekali tidak. Memang saya bertemu dengannya di Xiafei Street pada saat saya berusia 20 tahun. Dan setelah itu pikiran saya amat menyiksa.”
“Guratan tanganmu yang ini menentukan kamu pada umur 20 tahun harus mengalami siksaan batin karena cinta, dan siksaan batin itu berlanjut.” Sambil menunjukan suatu guratan ditelapak tangan Su Jichen, Gui Guzi melanjutkan ramalannya.
Beberapa kali Su Jichen berusaha melupakan gadis itu. Dalam hati dia berkata: “Dia cuma bertemu sekali dengan saya. Apakah dia masih ingat saya sekalipun nanti bertemu? Kalau cewek yang cantik begitu pasti banyak cowok yang mengejar, jangan2 dia juga sudah punya pacar.” Walaupun akal sehatnya menyuruh dia melupakan gadis itu, tapi emosi hatinya tidak mampu melakukannya. “Oh, Tuhan! Kenapa harus ada pertemuan di Xiafei Street itu? Kalau tidak ada, kan saya tidak tersiksa begini?” Beberapa kali dia berteriak sendiri disaat yang sepi, tapi tetap saja luka dihatinya tidak terobati.
Sejak itu setahun telah berlalu. Entah karena Tuhan terharu juga dengan teriakan Su Jichen, mereka bertemu untuk kedua kalinya pada suatu hari. Saat itu adalah musim dingin dan malam hari. Su Jichen sehabis dari luar bergegas pulang kerumah karena udara dingin. Untuk mengambil jalan pintas, dia masuk kesebuah lorong tapi mendadak matanya terbeliak melihat diujung lorong sana cewek yang dia impikan siang malam, dengan syal putih meliliti lehernya, tampak berjalan dengan seorang yang tampaknya seperti ibunya. Cewek itu kembali menatapnya, menghentikan langkahnya tapi sejenak kemudian ditarik pergi oleh ibunya. Pas disaat itu, sebuah kereta rickshaw (becak tanpa sepeda yang ditarik dengan manusia) masuk kelorong itu dari lorong yang lain lantas menghalangi pandangannya. Setelah rickshawnya berlalu, Su Jichen berlari kearah tempat cewek itu tadi berada tetapi ceweknya sudah hilang.
Setelah kejadian ini, hati Su Jichen makin hancur. Dia sebenarnya ingin berteriak memanggil cewek itu ketika melihat cewek itu menghentikan langkahnya. Tapi karena disampingnya ada ibunya sehingga mengurungkan niatnya karena merasa tidak sopan. Tapi dengan demikian, hilanglah kesempatan untuk berkenalan denga cewek itu. Beberapa malam dia tidak bisa tidur. Terus menerus mengenangkan tatapan mata cewek itu. “Dia sampai menghentikan langkahnya, berarti dia juga suka sama saya. Dia berjalan sama ibunya, berarti dia belum punya cowok. Tapi dimana mencarinya? Dimana?” Setiap hari dia menggumam sendiri, menyesalkan kenapa tidak memanggil cewek itu pada saat itu. “Shanghai kan kota besar, bisa2 seumur hidup saya tidak bertemu lagi dengannya.” Tambah pikir tambah kesal, tapi selain pasrah apa yang bisa dilakukannya?
XXXXXX
Mata Su Jichen mulai ber-kaca2 mendengar penuturan siperamal Gui Guzi.
“Tuan Gui, anda benar2 luar biasa. Semua yang kualami dapat dituturkan dengan tanpa kesalahan sedikitpun. Saya amat tersiksa. Saya tersiksa terus. Kalau waktu itu saya mengenal anda, mungkin anda dapat membantu saya.”
“Itu sudah takdir. Saya tidak bisa berbuat apa2 juga. Nah, kalau melihat guratan ini, anda masih bertemu dengan dia untuk ketiga kalinya.”.
Tak terasa musim dingin telah beralih ke musim semi lalu ke musim panas. Hari itu, hujan turun dengan deras dan Su Jichen keluar dari sebuah toko buku sambil menjinjing payung. Pada saat hujan deras begini, payung sebenarnya tidak terlalu berguna. Baju dan celana Su Jichen tetap basah. Mendadak ia merasakan ada percikan air menghempas kearahnya dan dengan serta-merta muka dan sekujur tubuhnyapun menjadi bertambah basah kuyup. Baru mengangkat kepala mau menegur orang yang menyebabkan percikan air itu, dia melihat sebuah rickshaw baru saja melintas disampingnya dan di rickshaw tersebut duduk 2 orang cewek. Salah seorangnya membalikkan mukanya memandang kearahnya dengan raut muka minta maaf. Sinar matanya demikian lembut. Siapa lagi kalau bukan cewek yang dia rindukan siang malam itu.
Seketika itu juga, dia berlari mengejar rickshaw itu dengan se-kencang2nya. Tapi apa mau dikata, kakinya tersandung sebuah batu dan dia jatuh terjerambab dijalan. Mukanya menghantam tanah dan darahpun mengalir keluar dari keningnya seketika itu juga. Tanpa memperdulikan darah dan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya, dia bangun dan segera berlari mengejar rickshaw itu tapi rickshaw tersebut sudah berada jauh didepan.
Su Jichen masih mati2an mengejar. Tapi apa lacur, dia terpeleset dijalan yang licin dan kembali jatuh. Dan ketika dia bangun kembali, rickshaw sudah menghilang dari pandangan matanya. Seketika itu juga dia merasa matanya gelap. Kepalanya menengadah keatas. Cucuran air matanya tak kalah deras dengan curahan hujan. Dia berdiri bengong dijalan tanpa memperdulikan rickshaw yang berlalu lalang dijalan tersebut sampai akhirnya seorang kakek menariknya kepinggir jalan.
XXXXXX
Sambil menuturkan kejadian pertemuan ketiga itu, Gui Guzi meng-geleng2kan kepalanya.
Dengan sedikit terisak Su Jichen bertanya: “Apa dikehidupan sebelum ini saya telah membuat dosa yang amat besar sehingga dikehidupan yang sekarang ini saya harus menanggung siksaan demi siksaan?”
“Saya tidak bisa meramal kehidupanmu yang lalu. Redakanlah kesedihanmu. Sancai, sancai (Allah maha pengasih).”
“Setelah itu anda pasti juga tau kelanjutannya kan?”
Gui Guzi melanjutkan pemeriksaan guratan telapak tangannya.
XXXXXX
Su Jichen sudah melupakan sekolahnya. Mengaku pergi kesekolah kepada orang tuanya, padahal setiap hari dia bolos mencari cewek itu. Susahnya dia tidak tau cewek tersebut bernama apa, sehingga tidak tau bagaimana menanyakan ke orang2. Mengira cewek tersebut tinggal didaerah dimana mereka bertemu kedua kalinya, Su Jichen sudah melewati semua lorong2 disekitar itu entah berapa ratus kali. Tetapi tetap saja hasilnya nihil.
Takut ketahuan terlalu banyak bolos, diapun mulai balik kesekolahnya tapi dalam 1 minggu paling tidak dia bolos 1-2 hari. Demikianlah hari demi hari berlalu tapi cewek itu seperti menguap dari bumi ini.
Menjalani hidup yang hampa ber-tahun2, Su Jichen pun akhirnya sudah menyelesaikan kuliahnya pada saat berusia 24 tahun. Dia sekarang sudah berusia 25 tahun. Pada masa itu, cowok2 umumnya sudah menikah pada usia 25 tahun. Sebenarnya sejak dia tammat kuliahpun orang tuanya sudah mendesak dia nikah, tapi dengan bermacam dalih dia menolaknya. Dia sebenarnya juga pernah menyampaikan keibunya soal cewek idamannya itu, tapi dizaman itu keluarga kaya harus mendapatkan pasangan dari keluarga kaya pula. Makanya ibunya tidak setuju sembarangan mencari pasangan dari keluarga tidak dikenal apalagi cewek itu keberadaannya tidak diketahui.
Setelah 3 ½ tahun mencari tanpa hasil, Su Jichen mulai patah arang. Ditambah setahun terakhir ini didesak terus oleh orang tuanya, akhirnya pada suatu hari dia setuju pergi bersama ibunya melihat calon pengantin yang diperkenalkan oleh mak comblang. Cewek yang diperkenalkan ini bernama Xiuyi (秀宜), mukanya juga cantik pinggangnya juga kecil dan kulitnyapun putih mulus. Cuma sayangnya dihati Su Jichen sudah kepalang terisi cewek yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu, maka diapun tidak menyukainya. Tapi sebaliknya ibunya naksir berat terhadap Xiuyi ini.
Sampai 3 bulan setelah pulang dari rumah Xiuyi, Su Jichen tetap bertahan tidak mau menikahi Xiuyi. Tapi akhirnya ayahnyapun mulai angkat bicara dan diapun mulai berpikir. Pertama dia sudah mencari cewek idamannya selama 3 ½ tahun. Segala pelosok Shanghai sudah dijelajahi. Karena tetap tidak ketemu juga, apa cewek tersebut telah pindah kekota lain? Kedua, membangkang terus terhadap orang tua akan dicap sebagai anak tidak berbakti. Maka akhirnya, dengan berat hati diapun menyetujui menikahi Xiuyi.
Bagaimana kehidupan Su Jichen setelah menikah dengan Xiuyi? Hilang kemana cewek yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu? Hal yang menyeramkan mulai menghampiri. (Bersambung)
Masih 2 minggu lagi dan tanggal pernikahanpun akan tiba. Setiap hari Su Jichen masih mengharapkan dapat bertemu dengan cewek idamannya. Seandainya bisa bertemu, dia akan membatalkan pernikahan itu entah dengan cara kabur dari rumah atau apa. Tapi sayang cewek idamannya tetap tidak muncul dan hari pernikahanpun tiba.
Pesta diadakan secara besar2an dan meriah. Maklum keluarga Su Jichen adalah keluarga yang kaya raya. Kedua orang tua Su Jichen ber-seri2 sejak pagi, tapi Su Jichen sendiri sepanjang hari tampak cemberut dan dingin.
Tibalah malam hari berduaan dengan Xiuyi dikamar pengantin. Setelah berdua berdiam lama, Su Jichen memulai pembicaraan:
“Xiuyi, saya harus berkata jujur kepadamu, bahwa sebenarnya saya tidak mencintaimu dan pernikahan ini hanya karena saya tidak enak menolak permintaan orang tua saya.”
“Sebenarnya dari waktu pertama kali kita bertemu aku juga sudah tahu. Kamu sekalipun tidak pernah mau memandang kepadaku.”
“Kalau begitu kenapa kamu mau menikah dengan saya?”
“Karena aku menyukaimu dan aku juga tidak dapat menolak kemauan orang tuaku.”
“Orang tua! Orang tua! Kenapa sih pernikahan harus diatur oleh orang tua?”
Xiuyi tidak menjawab. Dia hanya menundukkan muka.
“Itu kan sangat tidak adil. Kita tidak boleh memilih orang yang kita sukai!”
“Aku tahu kamu pasti mencintai cewek yang lain. Tapi kenapa tidak berjuang mendapatkannya?”
“Mendapatkannya? Dia ada dimana saja saya tidak tahu.”
Lalu Su Jichen menceritakan kisah tentang cewek idamannya dari awal sampai akhir.
Xiuyi menangis ter-sedu2. Entah kasihan kepada Su Jichen atau meratapi nasibnya sendiri memperoleh suami yang tidak mencintainya.
Dengan ter-isak2 dia berkata: “Aku tidak berkeberatan diceraikan. Tidak apa2 aku diusir kembali kerumah orang tuaku.”
“Ai..” Su Jichen menghela napas: “Keluargaku adalah keluarga terpandang. Ayahku tak akan mengizinkan hal itu. Lagipula ini sama sekali bukan salahmu. Saya juga tidak mungkin mau melakukan itu.”
Xiuyi terharu mendengar jawaban dari Su Jichen. Secara refleks dia menjatuhkan badannya kepundak Su Jichen, tapi ditahan oleh kedua tangan Su Jichen.
“Maaf, Xiuyi. Hati saya belum bisa menerima kamu. Saya mohon untuk sementara kita jangan bersentuhan dulu, tapi didepan orang tuaku tolong kita bertindak se-olah2 layaknya suami isteri.”
Xiuyi meng-angguk2 sambil berlinangan air mata. Dan malam itu kedua mempelai nyaris tidak tidur sama sekali.
Sejak itu, mereka berdua menjalankan hidup sebagai suami-isteri semu. Didepan orang tua kelihatan mesra, tetapi dikamar tidur sama sekali tidak bersentuhan.
Namun orang tua Su Jichen sangat menyayangi menantu ini. Xiuyi selalu bangun pagi2, menyiapkan makanan dan melayani kedua orang tua tersebut dengan amat telaten. Sang Ibu malah kadang2 menegor Su Jichen karena dia sering kelihatan acuh tak acuh terhadap Xiuyi.
Persoalan mulai timbul ditahun kedua. Kedua orang tua heran kenapa Xiuyi tidak kunjung hamil. Karenanya mereka disuruh mencari tabib untuk mengetahui penyebabnya. Su Jichen pusing tujuh keliling. Rahasianya segera akan terungkap. Terpaksa dia mengutarakan kepada Xiuyi bahwa walaupun tidak mencintainya, dia harus menghamilinya karena kalau tidak, rahasia mereka selama ini akan terbongkar.
Xiuyi malah senang mendengar ini dan tidak lama setelah itu diapun mengandung. Tak disangka dengan semakin bertambah umur kandungannya, Su Jichen jadi semakin menyayanginya dan mereka akhirnya menjadi suami-isteri yang sebenarnya. Dan setelah 9 bulan lahirlah seorang bayi laki2 yang montok.
(Sebenarnya dari sini saya bisa switch ceritanya jadi happy-ending, dengan melanjutkan ceritanya menjadi Su Jichen dan Xiuyi berpesiar setelah melahirkan lalu diselingi dengan adegan2 romantis dari keduanya. Tapi saya berpikir kembali. Yang Sasha mau kan kisah romantis antara Su Jichen dengan cewek idamannya yang pertama kali ketemu di Xiafei Street itu, bukan kisah romantis antara Su Jichen dengan Xiuyi. Jadi saya teruskan ceritanya seperti apa adanya aja deh)
Saking sayangnya Su Jichen terhadap isterinya, dia menganjurkan agar dicari seorang baby-sitter untuk mengurus anak mereka. Xiuyi amat senang. Kebetulan ada seorang temen baiknya yang bersedia menjadi baby-sitter. Jadi diputuskan agar memanggil temennya itu saja kerumah mereka.
Pada hari yang telah ditentukan, temennya Xiuyi datang dan Xiuyi pun membawa temennya menemui Su Jichen. Tapi betapa kagetnya Su Jichen ketika melihat mukanya si baby-sitter itu. Itu adalah cewek yang dia rindukan siang malam dan entah hilang kemana selama ini. Yang beda cuma dandanannya. Kalau dulu dia seorang murid sekolah, sekarang dandanannya menjadi seperti seorang pembantu. Tapi mukanya tetap cantik sekali dan sinar matanya tetap begitu lembut walaupun terbeliak kaget ketika melihat Su Jichen.
“Apakah kalian kenal?” Xiuyi bertanya karena melihat mereka kaget ketika bertemu.
“Ya, dia pernah bantu menjaga bibi saya beberapa minggu ketika bibi saya sakit.” Entah kenapa, Su Jichen yang biasanya tidak bisa berbohong mendadak jadi pintar.
“Oh, rupanya Cuifeng (翠鳳) adalah temen kamu juga. Baguslah kalau begitu. Tidak perlu repot2 saya memperkenalkan lagi.” Xiuyi ber-seri2 dan sedikitpun tidak menaruh curiga.
Selanjutnya Xiuyi pun membawa Cuifeng kekamar bayinya dan mengobrol lama disitu meninggalkan Su Jichen yang melongo sendirian.
XXXXXX
Bersambung ke bagian ke-2
No comments:
Post a Comment
Ooh...come on...give me your comment...